Tanjanirizky17@gmail.com
ABSTRAK
Makalah ini mengasumsikan bahwa telah ada (exists)
berbagai kegiatan penelitian Sistem Informasi
Managemen (SIM) di Indonesia (DI). Namun, populasi
komunitas SIMDI masih sedikit, serta tersebar pada
berbagai disiplin ilmu yang lebih mapan seperti Ilmu
Komputer, Bisnis dan Managemen, Psikologi, dan
sebagainya. Tulisan ini mencoba untuk mempertanyakan
arah dari SIMDI. Dengan mengkaji bagaimana SIM
berkembang di belahan bumi yang lain, serta memahami
kondisi nyata SIMDI, akan diusulkan beberapa kiat untuk
ditindak-lanjuti.
Kata kunci: SIM, Sistem Informasi Managemen,
Indonesia.
1. PENDAHULUAN
Sistem Informasi Managemen (SIM) merupakan
sebuah bidang yang mulai berkembang semenjak tahun
1960-an. Walau tidak terdapat konsensus tunggal, secara
umum SIM didefinisikan sebagai sistem yang
menyediakan informasi yang digunakan untuk
mendukung operasi, managemen, serta pengambilan
keputusan sebuah organisasi. SIM juga dikenal dengan
ungkapan lainnya seperti: “Sistem Informasi”, “Sistem
Pemrosesan Informasi”, “Sistem Informasi dan Pengambil
Keputusan” [1].
Judul makalah ini mengandung tanda tanya. Namun,
mohon untuk tidak ditafsirkan bahwa di Indonesia tidak
terdapat kegiatan penelitian yang berhubungan dengan
SIM. Justru, diasumsikan bahwa kegiatan tersebut telah
ada (exists), sehingga tidak ada klaim bahwa perlu
melakukan perintisan bidang ini dari nol. Namun, bidang
ini telah berkembang secara paralel di berbagai bidang
ilmu yang telah mapan terutama Ilmu Komputer, Teknik
Elektronika, serta Bisnis dan Managemen.
Justru, tulisan ini mencoba untuk mempertanyakan
arah dari berbagai kegiatan SIM tersebut. Selanjutnya
mengusulkan beberapa kiat untuk menyelaraskan kegiatan
penelitan SIM tersebut. Makalah ini dapat dimanfaatkan
sebagai pembuka, dengan membuat sebuah sketsa kasar
kondisi bidang SIM di Indonesia. Manfaat langsung yang
akan diperoleh merupakan konsensus kondisi yang riil,
serta hal-hal yang mungkin dapat ditindak-lanjuti.
Komposisi komunitas majemuk ini bukan hanya
terjadi di Indonesia. Hal serupa juga dialami komunitas
SIM di berbagai negara termasuk Amerika Utara dan
Eropa pada awal pembentukannya. Pengalaman mereka
dalam merintis pengembangan bidang SIM menjadi
sangat berharga untuk dijadikan model/rujukan. Untuk itu,
makalah ini akan membahas secara singkat cikal bakal
berkembangnya bidang ini dibelahan bumi lain.
2. LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN
Bagian ini akan mengungkapkan bagaimana bidang
SIM berkembang di Amerika Utara dan Eropa. Titik
penekanan akan lebih pada proses pertumbuhan bidang
ini, dan bukan kronologi peristiwa yang terkait dengan
perkembangan SIM.
SIM merupakan bidang terapan yang mendapatkan
perhatian para pelaku bisnis sejak Teknologi Informasi
(TI) dimanfaatkan pada tahun 1950-an. Pada awalnya,
titik fokus utama ialah efisiensi, mengingat harga
perangkat keras yang sangat mahal (jutaan dollar). Secara
perlahan komponen biaya perangkat keras menyusut.
Namun secara keseluruhan, anggaran tahunan TI sebuah
organisasi cenderung untuk terus meningkat. Timbul
kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bukan sekedar
Ilmu Komputer, Teknik Elektronika, atau Matematika.
Diperlukan sebuah metoda universal yang secara
sistematis dan efektif dapat dengan cepat menanggulangi
permasalahan yang timbul dari waktu ke waktu. Ini
berbeda dengan tradisi ''dunia akademis'' yang
menawarkan berbagai variasi ''solusi teoritis'' yang telah
dikaji secara ilmiah untuk permasalahan yang belum tentu
ada.
Topik dalam bidang SIM mulai mendapatkan
perhatian para akademisi pada tahun 1960-an. Pola yang
lazim terjadi ialah para akademisi terjun langsung ke
lapangan sebagai konsultan. Selanjutnya, para akademisi
berupaya untuk menyelesaikan permasalahan SIM dengan
beraneka ragam kerangka-kerja (framework). Kerangka kerja tersebut sesuai dengan latar belakang pendidikan
masing-masing, seperti Ilmu Komputer, Ilmu Teknik
Elektro, Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Ilmu
Matematika dan Statistika, Bisnis dan Managemen, serta
berbagai Ilmu Sosial lainnya seperti Psikologi, Budaya,
Filsafat, dan mungkin masih ada klaim dari ilmu lainnya
yang tidak dapat diuraikan satu persatu. Keaneka-ragaman
ini mendorong berbagai upaya untuk memperkenalkan
model-model kerangkat-kerja yang terpadu [2].
Institusi akademis yang pertama mengkhususkan diri
dalam bidang SIM ialah Management Information
System Research Center (MISRC) di Universitas
Minnesota (1968). Kiprah MISRC banyak sekali
mempengaruhi perintisan perkembangan SIM sebagai
sebuah bidang ilmu. Pada tahun 1977, MISRC
menerbitkan sebuah jurnal akademis yaitu Management
Information System Quarterly (MISQ). MISQ terbit empat
kali per tahun. Setiap terbitan MISQ berisi tiga hingga
empat artikel ilmiah. Pada tahun 1980, MISRC turut
membidani sebuah konferensi tahunan bergengsi yaitu
International Conference of Information Systems (ICIS).
ICIS diselenggarakan setiap tahun pada pertengahan bulan
Desember.
Forum diskusi panel ICIS biasanya digunakan untuk
mematangkan berbagai ide dan wacana. Hasil tindak
lanjut dari forum tersebut diantaranya membidani
pendirian Association of Information Systems (AIS) pada
tahun 1994, demikian pula publikasi situs internet
ISWorldNET,milis ISWordNet, peleburan ISWordNet
dan ICIS ke dalam wahana AIS (2000), serta penerbitan
dua jurnal elektronis yaitu Journal of the AIS (JAIS) dan
Communication of the AIS (CAIS). Kedua jurnal
elektonis tersebut, dapat diakses melalui URL
http://aisel.aisnet.org/. Milis ISWordNet,
pertemuan tahunan ICIS, serta jurnal MISQ secara defacto
merupakan rujukan utama kalangan SIM. Milis
ISWordNet1
pada umumnya digunakan untuk
melemparkan sebuah isu serta mengumumkan CfP (Call
for Papers).
Kelompok ''Minnesota'' yang dimotori MISRC
merupakan kubu yang lebih mengutamakan kepentingan
''akademis'' dan ''ilmiah'' dibandingkan dengan aspek
terapannya. Program pendidikan doktorat di Universitas
Minnesota mensyaratkan/ mengharapkan bahwa
lulusannya akan menjadi tenaga akademis di Universitas
lainnya. Karena telah meluluskan tenaga S3 bidang SIM
sejak tahun 1970-an, alumninya telah menyebar serta
menduduki berbagai posisi senior pada universitas
terkemuka di berbagai belahan dunia. Aliran kubu
MISRC ini cenderung positivistik yang terkenal dengan 1 Milis ISWorldNET kini berubah nama menjadi
AISWorldNET.
model kerangka-acuan ''kotak konseptual'' dan ''anak
panah sebab akibat''.
Selain kelompk ''Minnesota'' ini, terdapat berbagai
kubu alternatif, seperti kubu pantai timur (MIT, Harvard),
kubu pantai barat (Kalifornia), kubu Eropa, dan
seterusnya. Kubu pantai Timur, umpamanya, memiliki
pandangan yang lebih mengarah ke aspek terapan. Ini
terlihat bahwa terbitan yang lebih praktis seperti Harvard
Business Review dan Sloan Management Review. Pola
bidang SIM di Eropa pun lebih menjurus ke bidang
terapan. Bahkan, lulusan S3 dari Jerman lebih
dipersiapkan untuk terjun ke bidang industri dibandingkan
ke bidang akademis.
3. MENCARI CIRI KHAS BIDANG SIM
Konsekuensi dari sebuah bidang ilmu yang relatif baru
ialah para penelitinya memiliki latar belakang non-SIM.
Mereka cenderung memanfaatkan kaidah dan metoda
sesuai bidang latar belakang yang mereka anut, serta
mempertahankan warna bawaannya tersebut. Ini dapat
ditolerir pada awal pembentukan sebuah bidang ilmu.
Namun sebuah bidang yang mapan seharusnya
mengandung "komponen inti" yang menjadi ciri khas
bidang tersebut, dan SIM tidak dapat menjadi
perkecualian.
Polemik perihal apa yang termasuk dalam kategori
SIM dan mana yang bukan, seumur dengan bidang SIM
itu sendiri. Pada konferensi ICIS yang pertama (1980),
Peter Keen secara terbuka mempertanyakan apakah SIM
betul-betul sebuah bidang ilmu atau hanya sekedar tema
populer [3]. Isu serupa biasanya menimbulkan debat yang
''hangat'' setiap kali timbul dalam milis ISWordNet. Dalam
sebuah diskusi panel ICIS, pernah diperdebatkan
pengaruh para ''Barbarian'' dari bidang lain yang secara
tidak hentinya bersiaga di ''tapal batas'' bidang MIS [4].
Bahkan, volume 6 dari jurnal Communcation of the AIS
(CAIS) merupakan edisi khusus perihal relevansi bidang
ilmu MIS.
Baskerville dan Myers [10] menguatkan argumentasi
bahwa SIM sudah saatnya menjadi sebuah disiplin ilmu
secara mandiri. Davis [5] menawarkan konsensus, bahwa
setidaknya terdapat lima aspek yang dapat dikategorikan
sebagai ciri khusus bidang SIM:
- Proses Managemen, seperti "perencanaan strategis",
"pengelolaan fungsi sistem informasi", dan
seterusnya.
- Proses Pengembangan, seperti "managemen proyek
pengembangan sistem", dan seterusnya.
- Konsep Pengembangan, seperti "konsep sosioteknikal",
"konsep kualitas", dan seterusnya.
- Representasi, seperti "sistem basis data",
"pengkodean program", dan seterusnya.
- Sistem Aplikasi, seperti "Knowledge Management",
"Executive System", dst.
Orlikowski dan
Iacono [6] menyerukan agar jangan mengabaikan ''artifak IT'' sebagai isu sentral. Mereka mengamati bahwa terdapat kecenderungan penelitian SIM untuk mengasumsikan bahwa artifak IT itu sendiri tidak bermasalah. Artifak (karya/produk) IT tersebut pada umumnya berbentuk perangkat lunak atau perangkat keras. Benbasat dan Zmud [7] menjabarkan isu tersebut dengan menawarkan sebuah model konseptual seputar artifak IT tersebut. Whinston dan Geng [11] mengingatkan potensi wilayah kelabu/tidak bertuan dalam bidang SIM.
4. EKSISTENSI SIMDI
Pada dua bagian sebelumnya telah dibahas latar
belakang perkembangan SIM serta perdebatan perihal
komponen khas bidang SIM. Bagian ini mencoba untuk
mengkaji keadaan SIM di Indonesia (SIMDI) beserta
asumsi yang dipergunakan.
Kehadiran SIMDI itu sendiri tidak perlu diragukan.
Pada konferensi SNIKTI 2004 ditemukan lebih dari 10
judul makalah dengan tema ''berbau'' SIM. Setiap tahun
beredar berbagai ''Call for Papers'' yang mengundang
penulisan makalah dalam bidang SIM. Pada umumnya,
SIM hanya merupakan salah satu dari topik
konferensi/seminar. Institusi penyelenggara konferensi
biasanya tidak berafiliasi langsung dengan bidang SIM,
namun berupa bidang-bidang ilmu lain yang telah
diungkapkan sebelumnya .
Walau pun ada (exists), komunitas SIMDI terkesan
malu-malu dan tersembunyi. Sekurangnya terdapat dua
kemungkinan yang dapat menjelaskan kenyataan ini.
Pertama, para pelaku bidang SIM Indonesia terlalu
tersebar serta berhimpun diberbagai bidang ilmu induknya
masing-masing, sehingga mereka tidak saling kenalmengenal.
Kedua, jumlah mereka memang kecil serta
posisi yang lemah. Kemungkinan ke dua ini didukung
dengan kenyataan bahwa peranan Indonesia dalam bidang
SIM secara regional/internasional yang sangat minim.
Jarang sekali pertemuan regional seperti PACIS (Pacific
Asia Conference on Information Systems) atau pertemuan
internasional seperti ICIS dihadiri komunitas SIM dari
Indonesia.
Lebih langka lagi ialah, karya tulis komunitas SIM
dari Indonesia yang dipresentasikan pada sebuah
konferensi, apalagi karya tulis yang tembus ke publikasi
internasional. Dampak dari ini ialah bahwa aktifitas
SIMDI tidak terlihat oleh komunitas internasional.
Dengan sendirinya, sedikit sekali ada orang Indonesia
yang mendapatkan tawaran untuk menjadi ''reviewer''
makalah untuk konferensi atau jurnal internasional.
Kehilangan tawaran menjadi ''reviewer'' berarti kehilangan
kesempatan untuk ''mengintip'' riset yang sedang
dikerjakan oleh komunitas SIM lainnya [8].
Kendala tersebut di atas, belum termasuk yang secara
umum dialami para peneliti dari Indonesia. Pertama,
kemampuan berbahasa menjadi rintangan dalam
berkomunikasi, menulis, dan membaca makalah bahasa
asing secara umum, bahasa Inggris secara khusus. Kedua,
keterbatasan jurnal (asing) yang dilanggan masing-masing
institusi. Ketiga, fasilitas institusi yang kurang memadai,
seperti akses internet bagi peneliti. Terakhir, iuran
keanggotaan profesional yang relatif mahal merupakan
faktor kendala untuk menjadi anggota profesi [8].
5. SIMDI: SUMBANG SARAN
Makalah ini ditutup dengan sedikit sumbang saran.
Pertama-tama perlu ada konsensus dari orientasi SIMDI:
apakah berbasis ''teori murni'' lengkap dengan model
kerangka acuan ''kotak konseptual'' dan ''anak panah sebab
akibat''. Atau, apakah sebaiknya berorientasi terapan yang
menunjang industri SIMDI? Diusulkan agar para pelaku
SIMDI menerapkan pilihan kedua yang manfaatnya akan
lebih cepat terasa. Para akademisi SIMDI secara berkala
melakukan sabatikal ke lapangan, agar tetap mengikuti
perkembangan terakhir dari dunia SIM yang nyata. Pola
ini juga diterapkan para akademisi dari cabang ilmu
seperti kedokteran, hukum, teknik sipil, arsitektur, yang
biasanya tetap menerapkan ilmunya sebagai profesi.
Mengabaikan kegiatan berorientasi teori murni,
berpotensi dampak jangka panjang yang kurang baik. Para
pelaku SIMDI sebaiknya secara teratur mengakses
publikasi utama seperti ISR, MISQ, JAIS, dan CAIS.
Edisi elektronis dari MISQ, JAIS, dan CAIS dapat diakses
bebas biaya, jika menjadi anggota AIS. Anggota AIS dari
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
mendapatkan potong iuran tahunan. Bahkan untuk JAIS
dan CAIS, AIS pernahmemberikan akses secara bebas
biaya bagi institusi pendidikan di negara yang sedang
berkembang.
Besar harapannya, bahwa setiap pelaku SIMDI
sekurangnya tahu akan eksistensi jurnal tersebut di atas,
agar mengetahui perkembangan serta mengenal apa-siapa
dalam bidang ini.
Tentunya lebih baik, jika peserta tersebut juga menjadi
pembawa makalah. Informasi mengenai ''Call for Papers''
lainnya dapat diikut melalui milis ISWordNet. Titik awal
menulis ke jurnal internasional dapat dengan
mengirimkan makalah ke The Electronic Journal of
Information Systems in Developing Countries (EJISDC)
dengan URL berikut: http://www.ejisdc.org/.
Dewasa ini ditemukan beberapa jurnal bidang SIM
terbitan dalam negeri. Pada umumnya, sirkulasi jurnal
tersebut agak terbatas serta jadual penerbitannya kurang
teratur. Diusulkan untuk menerbitkan sebuah jurnal
elektronis yang mengikuti pola JAIS/CAIS dengan lisensi
bebas sehingga dapat dengan mudah diarsipkan ke dalam
CDROM. Lobby tingkat tinggi diperlukan agar terbitan
elektronis dianggap setara (kumnya) dengan terbitan
cetakan. Kapasitas simpan elektronis yang relatif besar
memungkinkan jurnal tersebut juga dimanfaatkan untuk
menampung karya tulis/ringkasan tesis dari penelitian S3,
S2, dan bahkan S1. Penerbitan karya tulis secara terbuka
dan dapat diakses secara luas justru dapat menjadi kiat
untuk menghindari plagiatisme akademis.
Tentunya, dapat diusulkan berbagai hal lainnya seperti
mendirikan cabang/chapter AIS, mendirikan milis khusus
SIM (atau memanfaatkan milis yang telah ada), serta
mengupayakan konferensi tahunan khusus bidang SIM.
Sebagai penutup, penulis menghimbau agar masingmasing
jangan lupa mengintip bagaimana SIM
dimanfaatkan oleh institusi masing-masing.
REFERENSI
[1] G. Davis and M. Olson, Management Information
Systems, 1984, 5-6.
[2] G.A. Gorry and M.S. Scott, A Framework for
Management Information Systems, Sloan
Management Review, 13(1), Fall 1971, 55-70.
[3] P.G.W. Keen, MIS Research: Reference Disciplines
and A Cummulative Tradition, Proceedings of the
First International Conference on Information
Systems, E. Mc Lean (ed.), 1980, 9-18.
[4] J. Fedorowitz, Are There Barbarian at the Gates of
Information Systems?, Panel 9 at International
Conference on Information Systems, 1996.
[5] G. Davis, Information Systems Conceptual
Foundations: Looking Backward and Forward,
Organizational and Social Perpectives on Information
Technology, R.L. Baskerville et. al. (eds), 2000, 61-82.
[6] W. J. Orlikowski and C.S. Iacono, Research
Commentary: Desperately Seeking the ''IT'' in IT
Research -- A Call to Theorizing the IT Artifact.
[7] I. Benbasat and R.W. Zmud, The Identity Crisis Within
The IS Discipline: Defining and Communicating The
Discipline Core Properties, MIS Quarterly, 27(2), June
2003, 183-194.
[8] R.M. Samik-Ibrahim, M3: Potensi Masalah Dari
Dunia Ketiga, 2002, per 17 Nov ,
http://rms46.vLSM.org/1/43.html
[9] N. Bruell, Exporting Software from Indonesia,
EJISDC, 2003, 13(7), 1-9.
[10] R.L. Baskerville and M. D. Myers, Information
Sistems as A Reference Discipline, MIS Quarterly,
26(1), March 2002, 1-14.
[11] A.B. Whinston and X. Geng, Operationalizing the
Essential Role of the Information Technology Artifact
in Information Systems Research: Gray Area, Pitfalls,
and the Importance of Strategic Ambiguity.
[12] K. Lyytinen, ed. al., Making Information Systems
Research More Relevant: Academic and Industry
Perspectives, Proceedings of the First International
Conference on Information Systems, P De, et. al. (ed.),
1999, 574-577.
di kutip dari : http://rms46.vlsm.org/2/114.pdf